Catatan Hati



Sebagai Seorang Pendaki Gunung




( oleh : Heri Nazmi )



Pencinta Alam atau biasa disebut PA, itulah yang pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini. Dengan ransel,topi rimba, baju lapangan, dengan memakai sepatu gunung membuat mereka kelihatan gagah. tetapi semua itu hanya sebagian saja yang menatap kita dengan mata berbinar menyiratkan kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung. Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, ..itulah kalimat cibiran yg selalu kita dengar sebagai pendaki gunung...

Tapi lihatlah ketika kita memberanikan diri bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Dengan meningkatkan Adrenalin yang kuat, disamping persiapan yg sudah kita lakukan, maka akan timbul rasa percaya diri yang kuat dan mantap, hingga kita mampu menguasai emosi diri kita untuk menyatu dengan alam dalam menginjakkan kaki di puncak tertinggi. semua itu tidak lebih untuk menepis atau menjawab golongan mayoritas yang selalu mencibir kita sebagai seorang pendaki gunung rimba belantara. Dan begitu semua terlaksanakan dengan baik, disitulah mereka akan diam karna kita bisa menyatu dgn alam ....

Disini cerita sebagai pendaki gunung  yg peduli pada alam membuat siapapun akan lebih peduli pada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri. Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan, menyayangi sesama dan percaya pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang kerap disebut  sebagai Petualang di Alam Bebas. Mendaki gunung bukan berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri dari keegoisan pribadi. Mendaki gunung adalah kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama.

Untuk menjadi seorang Pendaki Gunung bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini. Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya lebih dekat pada orang – orang yang terjun di alam bebas sebagai Pendaki “ Mati muda yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir yg sudah allah swt tentukan.

Bagi saya pribadi sebagai pendaki lawas kalau bicara soal kematian " Tidak di gunung pun, kalau mau mati ya matilah…!!!
Jadi kalau selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan mengenal sosok  Columbus  sang penemu Benua Amerika.

Sebagai Pendaki gunung, di ketinggian kaki berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki kita menginjak ketinggian, tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan diri kita sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang pasti ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang curam dan menakutkan tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan membiarkan tubuhnya diinjak – injak. kita sebagai pendaki sdh pasti ada banyak luka di tangan, ada kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki kita mampu menginjakanya di ketinggian yg selalu kita sebut sebagai puncak idaman. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan yg seolah sdh menyatu didalam jiwa kita.

Lukisan kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah – sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya.

Tetap menjadi paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat akar di mana dia hidup.

Ya, menghargai hidup adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung. Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi terdesak.

Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula kita menghargai hidup.

Hanya seorang yang bergelut dengan alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih sayangnya. Kalau golongan mayoritas masih terus saja berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang sejati yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.



bersambung.....


(Desa Kledung 92 Eiger Mountaineer Jambi  Berdiri di Puncak sindoro 3153 mdpl )


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Navigasi Darat ( Ilmu Peta & Kompas )

Tehnik Pendakian Gunung